Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki pendidikan yang berkualitas. Namun bangsa Indonesia masih sangat jauh dari angka kemajuan tersebut. Hasil penelitian PISA tahun 2019 untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei. Hal tersebut bisa menggambarkan betapa rendahnya kemampuan kognitif siswa di Indonesia dan menjadi tanda adanya kesalahan pada pendidikannya. hal tersebut pun menjadi salah satu yang melatar belakangi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan yang menjadi filosopi pendidikan “Merdeka Belajar” pada 100 hari pertama masa jabatannya. Hal tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan karena filosopi tersebut berpijak pada dasar pemikiran Bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara bahwa kemerdekaan adalah tujuan pendidikan sekaligus paradigma pendidikan yang perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Kemerdekaan pun memiliki makna yang lebih daripada kebebasan hidup, yang paling utama dari kemerdekaan adalah kemampuan untuk hidup dengan kekuatan sendiri menuju ke arah tertib-damai serta selamat dan bahagia berdasar kesusilaan hidup manusia. (PSPK, 2021)

Merdeka belajar adalah kebijakan yang diharapkan mampu menjadikan guru bebas berinovasi dalam mengembangkan kurikulum yang dengannya dapat tercipta pembelajaran yang kreatif, mandiri, berkarakter tanpa adanya sekat dan regulasi. Merdeka belajarpun bertujuan agar pendidik mampu menjadi penggerak serta mengutamakan peserta didik di atas kepentingan pribadinya. Konsep merdeka belajar menjadikan guru sebagai fasilitator dimana guru menjadi satu-satunya pihak yang mengetahui segala hal yang dibutuhkan untuk mendukung proses pembelajaran sehingga gurulah pihak yang mampu menyedikan  fasilitas penunjang pengembang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Namun gebrakkan yang dikeluarkan awal tahun 2020 ini belum banyak diketahui guru. Hal ini terjadi karena kurangnya kemauan dalam mencari informasi khususnya di bidang pendidikan sehingga masih banyak guru yang acuh tak acuh. Adapun baru-baru ini telah diadakan asesmen pada siswa kelas (5, 8 dan 11) hanya seperti menambah ketakutan, guru beranggapan siswanya akan dinilai dan jika hasilnya tidak sesuai harapan akan berakibat fatal. Anggapan tersebut dikhawatirkan berimbas pada ketidakjujuran pelaksanaan asesmen yang awalnya bertujuan mengetahui tingkat literasi dan numerasi siswa agar bisa dilakukan perbaikan lebih awal. Pelaksanaan asesmen pun bukannya menambah rasa ingin tahu dan perbaikan, kegiatan tersebut berlalu begitu saja. Kegiatan KBM pun belum mengalami perubahan, guru hanya melakukan pengajaran bukan pembelajaran, pembelajaran masih bersifat konvensional, guru menyampaikan siswanya mencatat. Hal ini semakin diperparah dengan keberadaan buku tematik jenjang SD yang seharusnya menjadi alat bantu pembelajaran yang berperan sebagai LK (Lembar Kerja) berubah menjadi alat yang mengekang pembelajaran. Guru seperti mengalami ketakutan jika menggunakan referensi lain karena semua sekolah dasar SD/MI menggunakan buku tersebut dan menjadikan sebagai satu-satunya referensi dalam kegiatan pembelajaran serta soal-soal yang diberikan pada PAS (Penilaian Akhir Semester) pun bersumber dari buku tersebut. Selain itu dalam buku tersebut sudah dilengkapi tahapan-tahapan pembelajaran dari awal sampai kegiatan akhir sehingga menjadikan guru enggan mengembangkannya, materi yang disamaratakan dari kampung hingga perkotaan tanpa melihat latar belakang siswa. Buku tersebut seperti menciptakan zona nyaman, guru cukup membagikan buku, memberi instruksi buka halaman sekian kemudian membiarkan siswanya asyik belajar sendiri tanpa bimbingan. Keberadaan buku tematik tersebut akhirnya menghentikan cara berpikir kreatif guru dalam menyajikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Padahal pembelajaran bukanlah proses yang didominasi oleh guru ataupun sebaliknya, siswa dibiarkan anteng dengan tugas-tugas tanpa adanya bimbingan dari guru. Pembelajaran adalah proses yang secara kreatif menuntut siswa melakukan sejumlah kegiatan sehingga siswa benar-benar membangun pengetahuannya secara mandiri dan berkembang pula kreativitasnya. (Abidin,2012)

Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, jika melihat dari sejarah awal pendirian PGRI yang tidak hanya memperjuangkan perbaikan nasib, kesamaan hak dan posisi dengan belanda, tetapi menjadikan perjuangan nasional yang meneriakkan kemerdekaan. Jiwa merdeka itu pun yang diharapkan dari adanya kebijakan “Merdeka Belajar”. Oleh sebab itu untuk merealisasikan kebijakan merdeka belajar, sebagai guru yang menjadi bagian dari PGRI hal yang pertama yang harus dilakukan adalah mendidik dengan hati yaitu meluruskan niat dengan menjadikan tujuan mengajar adalah untuk melanjutkan estapeta perjuangan para guru terdahulu. Jika para palawan terdahulu memperjuangkan kemerdekaan maka tugas sebagai guru saat ini adalah menumbuhkan jiwa merdeka pada jiwa-jiwa guru dan siswa melalui kebebasan-kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang tentunya sesuai dengan norma yang berlaku. Munculnya kesadaran bahwa mengajar merupakan suatu perjuangan yang berpahala dan bernilai di sisi Allah SWT. akan menjadi salah satu kunci terwujudnya merdeka belajar. Sikap kesadaran seperti ini yang nantinya akan memacu semangat untuk menciptakan inovasi dalam melaksanakan pembelajaran seoptimal mungkin.

“The power of love”, memunculkan rasa cinta terhadap profesi dan siswa menjadi bagian penting lainnya dalam mewujudkan merdeka belajar. Rasa cinta tersebut dapat dimunculkan dengan menumbuhkan sikap empati khususnya terhadap siswa berkebutuhan khusus yang mengalami berbagai kesulitan belajar, belajar memberi kesempatan yang sama kepada semua siswa tanpa membandingkan latar belakang keluarga/status sosialnya, memberi dukungan baik berupa fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa dan atau mendukung dengan kalimat-kalimat positif yang mampu menumbukan semangat belajar siswa.

Adanya kesadaran bahwa mengajar merupakan tugas mulia dan pentingnya rasa cinta saat melaksanakan pembelajaran maka hal tersebut akan menjadi kekuatan yang dapat mendorong guru untuk menambah wawasan dan keilmuannya. Menambah wawasan dan keilmuan dapat menjadi bekal dalam mewujudkan merdeka belajar. Karena kurangnya wawasan bisa berdampak pada penyampaian teori yang salah, apalagi jenjang pendidikan dasar yang merupakan pondasi pendidikan. Menambah wawasan pun akan menumbukan rasa percaya diri guru dalam menjalankan profesinya, serta ilmu-ilmu yang dimiliki mampu menjadi tolok ukur dalam mewujudkan kemerdekaan yang bertanggung jawab. Selain itu guru akan belajar dalam memanfaatkan teknologi secara optimal untuk mempermudahnya menambah informasi dan menyampaikan informasi baik sebagai media pembelajaran/referensi, meningkatkan literasi serta keahlian lainnya di bidang pendidikan. “Allah memberi hikmah atau ilmu yang berguna yang dapat mendorong manusia untuk bekerja dan berkarya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Tafsir Jalalain QS. Al-Baqarah: 269)

Maka kebijakan apapun yang dikeluarkan, seberapa seringnya pergantian kurikulum terjadi jika ketiga hal di atas telah hadir dalam diri guru maka perubahan yang diharapkan akan tetap terjadi karena sejatinya keberhasilan pendidikan terletak pada genggaman seoarang guru. Oleh karena itu mendidiklah dengan hati sebab itulah  langkah awal dalam mewujudkan “Merdeka belajar”.

Penulis : Saeful Anwarulah,S. Pd.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.